Rabu, 23 September 2015

Takdir Pernikahan

بسم الله الرحمن الرحيم


Pernikahan itu sesungguhnya Adalah Takdir dari Allah, dan hanya Allah yang mengetahuinya, untuk lebih jelasnya inilah pembahasan mengenai sejarah pernikahan di dunia :

Pernikahan adalah sesuatu yang mengikatkan dua pribadi yang berbeda dalam naungan kasih sayang. Tapi sekarang ini kita menyaksikan sebuah fenomena yang rupanya sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat kita yaitu nikah cerai.

Sebelumnya saya akan memaparkan secara singkat sejarah pernikahan di beberapa peradaban sebelum turunnya ajaran Islam.

1. Peradaban Romawi
Pernikahan adalah sebuah kontrak sipil yang dengannya perempuan terbebas dari kuasa ayah dan suaminya. Perceraian adalah suatu hal yang mudah dan lazim pada masa itu. Perempuan Romawi bebas memiliki beberapa orang suami. Bahkan, mereka menghitung umur mereka dari berapa banyak suami yang telah mereka nikahi. Sementara itu, kaum lelaki boleh berhubungan intim sebelum menikah dengan kaum perempuan. Jika perempuan itu hamil, maka laki-laki itu akan menikahinya. Tetapi jika ternyata perempuan itu tidak hamil, maka laki-laki itu tidak akan menikahinya. Pada saat itu perzinahan merajalela dan teater dijadikan tempat untuk kontes wanita telanjang. Pada kondisi inilah kebesaran Romawi mulai memudar dan membawanya pada kehancuran peradaban.

2. Peradaban Yunani
Norma pernikahan sama sekali tidak diakui pada zaman itu. Hal ini dikarenakan cerita-cerita rekaan yang sangat menyudutkan posisi kaum wanita. Sehingga pada saat itu wanita dianggap sebagai komoditas yang bisa dikuasai laki-laki. Wanita diperlakukan dengan sangat hina dan hanya dijadikan sebagai pelampiasan nafsu seksual. Bahkan pada saat itu seorang suami boleh menjadikan istrinya sebagai bayaran jika dia kalah berjudi.

3. Peradaban Cina
Dalam peradaban ini, seorang suami diperbolehkan menjual istrinya jika ia memerlukan uang. Bahkan, seorang suami diperbolehkan membunuh istrinya tanpa adanya alasan yang jelas.

4. Peradaban Arab jahiliyah
Pada waktu itu, kaum laki-laki berlomba satu sama lain untuk memiliki istri sebanyak-banyaknya demi membuka relasi dengan suku yang lain. Ada beberapa jenis pernikahan dalam budaya masyarakat Arab waktu itu yang jelas-jelas mendiskreditkan kedudukan kaum wanita, yaitu :

Al-dayzan, seorang anak boleh menikahi ibunya setelah si ibu ditinggal mati oleh sang ayah. Cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada ibunya, secara otomatis anak itu sudah mewarisi ibunya sebagai istri.
Zawj al-balad, yaitu dua orang suami bersepakat untuk saling menukar istri.
Zawaj al istibda, seorang suami menyuruh istrinya untuk bersetubuh dengan laki-laki lain yang memiliki keunggulan. Setelah hamil, wanita itu harus kembali kepada suaminya. Dengan proses seperti ini diharapkan suami istri itu mendapatkan keturunan dengan “bibit unggul”.

Sekarang kita akan melihat kedudukan pernikahan dan perceraian dalam Islam. Islam adalah agama yang Syaamil Mutakamil (sempurna dan menyeluruh). Semua aturan yang ditetapkan syariat islam sangat sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun dari aturan yang telah ditetapkan itu bertujuan untuk menyusahkan manusia. Perintah-Nya adalah penghubung kita kepada-Nya, larangan-Nya merupakan sebuah bentuk penjagaan, dan ujian yang diberikan adalah perwujudan cinta-Nya kepada kita.

Islam menempatkan ikatan pernikahan sebagai satu anugerah yang sangat besar bagi manusia. Ikatan ini menjadikan sesuatu yang tadinya haram menjadi halal, bahkan membuatnya menjadi ibadah. Islam telah mengatur bagaimana kita harus menjaga sikap terhadap lawan jenis sebelum terjadi pernikahan.Sebagian yang lain menyadari, aturan ini adalah sebuah penjagaan identitas yang akan menyelamatkan mereka dari berbagai gangguan. Hal ini sangat sesuai dengan fitrah manusia yang menginginkan sesuatu yang terbaik bagi mereka. Sebagai manusia normal, mereka akan cenderung memilih sesuatu yang masih baru dari pada yang sudah bekas. Masa penantian sebelum menikah mengajarkan kita untuk bersabar karena sesuatu itu akan sangat indah dinikmati jika waktunya sudah tiba. Dan masa-masa setelah pernikahan mendidik kita untuk berjuang demi menjadikan ikatan itu sesuatu yang barakah dan menentramkan. Sekali lagi, aturan yang telah ditetapkan Islam adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk menyusahkannya.

Jika sebelum menikah saling berpandangan mesra dan berpegangan tangan itu dilarang keras, maka setelah pernikahan dua hal itu sangat dianjurkan untuk menjaga keharmonisan. Sebelum menikah, hubungan intim itu akan menjadi perzinahan, setelah menikah, ia menjadi ibadah. Dari beberapa hal itu saja kita sudah bisa melihat betapa pernikahan adalah satu ikatan yang menyelamatkan. Tidak hanya menyelamatkan harga diri kita sebagai manusia, tapi juga menyelamatkan garis keturunan atau nasab.

Lebih jauh lagi, pernikahan dalam Islam adalah gerbang menuju sebuah peradaban yang generasinya adalah mereka yang memiliki akhlak yang luhur dan menegakkan syari’at islam. Karena melalui pernikahan yang barakah, terciptalah sistem pendidikan terbaik yang diberikan orang tua kepada anaknya.

Islam menurunkan aturan-aturannya disertai dengan berbagai keringanan yang bisa kita lakukan jika pada kondisi tertentu kita tidak bisa sepenuhnya melaksanakan aturan itu. Berbicara tentang pernikahan, mau tidak mau kita pasti akan menyinggung masalah perceraian. Kata cerai seolah-olah telah menjadi momok yang menakutkan yang kebanyakan orang menganggapnya sebagai hal yang tidak baik. Padahal, tidak setiap ikatan pernikahan yang berakhir dengan perceraian menjadi sesuatu yang buruk. Pada kondisi tertentu, cerai justru menjadi sebuah jalan penyelamatan.

Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (cerai). Ini menunjukkan kepada kita bahwa bercerai bukanlah suatu tindakan yang haram. Memang tujuan kita menikah bukanlah untuk bercerai, tapi ketika kondisi pernikahan sudah tidak bisa memberikan barakah kepada kedua pihak, maka bercerai adalah jalan penyelesaian. Perceraian itu pun terjadi secara baik-baik, tanpa harus menyisakan sisa-sisa kemarahan atas kondisi penyebab perceraian atau persengketaan masalah pembagian harta setelah perceraian.

“Ada tiga hal yang kesungguhannya adalah kesungguhan, dan gurauannya pun dinilai kesungguhan. Ketiganya adalah nikah, cerai, dan ruju’.” (Abu Hanifah). Hal ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan sebuah pernikahan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya dalam kaca mata Islam. Sehingga kita tidak bisa menjalaninya dengan menyepelekan segala proses yang terjadi di dalamnya. Jika seorang suami mengucapkan kata “cerai” terhadap istrinya, maka sebenarnya itu sudah termasuk proses bercerai dalam Islam. Dan untuk bisa kembali berhubungan badan haruslah ada proses ruju’. Dan dalam islam, thalaq atau cerai yang diperbolehkan ruju’ hanya dua kali.

Proses perceraian dalam islam itu diperbolehkan ketika memang pernikahan yang ada sudah tidak lagi barakah, bukan perceraian yang dilandaskan pada nafsu dan ego diri. Contoh perceraian yang tidak pada tempatnya adalah, seorang suami menceraikan istri hanya karena ingin menikah lagi. Atau seorang istri minta cerai kepada suami karena ada gosip suaminya itu berselingkuh tanpa ada pengusutan lebih lanjut.

Mengapa perceraian adalah sesuatu hal yang halal tapi sangat dibenci Allah? Karena ketika terjadi sebuah perceraian, silaturahmi yang terputus tidak hanya antara suami dan istri. Tetapi juga silaturahmi dua pihak keluarga. Dan yang paling mendapat pengaruh adalah kondisi anak-anak dari pasangan itu. Tetapi sekali lagi, perceraian tidak selalu merupakan suatu hal yang buruk.

Wallahu a'lam bi shawab..

1 komentar:

  1. jika istri kedapatan berselingkuh bahkan awal penbuktian telah nyata tp belum bisa mngambil sikap, keduakali terjadi lagi hal hyang sama,,sikap apa yg hrs diambil oleh sang suami???

    BalasHapus