Kamis, 15 Oktober 2015

Jodoh adalah Cerminan Diri

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalaamu'alaikum Wr. Wb



Jodoh sebagai takdir Allah yang telah dicatat sebelumnya. Artinya Jodoh tersebut tidak akan mungkin tertukar dengan orang lain. Hanya saja, hal ini tidak berarti kemudian dirinya berdiam diri. 
Kewajiban berusaha sangat dibutuhkan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
  1. Memperbaiki kualitas diri
    Jodoh kita hakikatnya adalah cerminan diri kita.
  2. Bersikap realistis.
    Realistis maksudnya adalah tidak terlalu berkhayal dalam menentukan pasangan hidup. Harapan yang terlalu tinggi terhadap calon pasangan kita, malah akan memunculkan peluang kekecewaan.
  3. Membangun jaringan dan komunikasi yang baik dengan orang-orang yang sholeh/sholehah.
  4. Komitmen dengan proses yang syar'i.
  5. Bermohon dan tawakal kepada Allah.
    Cukuplah Allah yang menentukan hasil dari usaha kita. InsyaAllah jika kita sudah melakukan yang terbaik, hasil yang kita dapatkan pun adalah sesuatu yang terbaik.
Jodoh itu rahasia Allah yang sudah ditentukan. Kita tinggal berusaha mendapatkanya dengan cara
yang baik. Karena hakikat Jodoh adalah cerminan diri kita. Jika kita baik maka jodoh kita baik, begitu pula sebaliknya. Itulah aturan Allah yang tercantum dalam Al Quran.

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga)." (An-nur:26).

Kelak jika kamu telah bertemu dengan seorang insan, yang membawa kebaikan kepada dirimu.
Menyayangimu.Mengasihimu. Mengapa kamu berlengah dan mencoba bandingkannya dengan yang lain, terlalu mengejar kesempurnaan kelak kamu akan kehilangannya, apabila dia menjadi milik orang lain, kamu juga akan menyesal.
Yang terpenting kita harus berusaha menjadi lebih baik, dengan begitu Insya Allah kita akan mendapatkan pendamping hidup yg baik pula,, Amin...

Selasa, 13 Oktober 2015

Do'a Akhir dan Awal Tahun Hijriyah

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalaamu'alaikum Wr. Wb



Sebentar lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram 14 Oktober 2015. Seperti kita ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram


Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram.
Allah S.W.T berfirman sebagai berikut:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu."
(QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, "Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab." [1]

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? 
Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

"Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban." [2]

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

Di Balik Bulan Haram


Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan. [3]

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, "Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak." [4]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam." [5]

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya. [6]

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau mengatakan, "Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun." [7]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, "Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?"

Beliau menjawab, "Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)." [8]

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

Kamis, 08 Oktober 2015

Salah Jatuh Cinta

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalaamu'alaikum Wr. Wb

 

Cinta adalah perasaan yang senantiasa melekat dalam hati setiap hamba. Inilah anugerah yang Allah berikan kepada manusia untuk diarahkan kepada hal-hal yang positif sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Namun sangat disayangkan, kebanyakan manusia tidak mengerti cara mengelola perasaan cinta pada koridor yang benar. Akibatnya, mereka menggelincirkan diri mereka sendiri ke jurang kehancuran. Tidak jarang mereka mencintai sesuatu yang tidak bermanfaat bagi mereka dan membenci sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Hal ini terjadi karena jahil-nya mereka akan hakikat cinta dan benci yang sesungguhnya. Sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dicintai dan dibencinya, juga untuk dan karena apa sebetulnya ia mencintai dan membenci. Bahkan, dia tidak mengetahui apakah yang dia cintai atau dia benci itu merupakan suatu kebaikan atau bukan.
 
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

(وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (البقرة:216
artinya:
“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya niscaya ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya menjadi yang paling ia cintai daripada selain keduanya, (2) Mencintai seseorang karena Allah semata, (3) Benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api Neraka.”

Seorang Muslim tidaklah mencintai seseorang kecuali karena agamanya yang haq, dan tidak pula membencinya karena agamanya yang bathil. Oleh sebab itu, seorang Muslim mencintai para Nabi, shiddiqin, para syuhada dan orang-orang shalih, karena mereka melakukan apa-apa yang dicintai oleh Allah S.W.T. Dan ini merupakan kesempurnaan cinta mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan seorang Muslim juga membenci orang-orang kafir, kaum munafiqin, ahlul bid’ah dan pelaku maksiat, karena mereka melakukan apa yang dibenci oleh Allah S.W.T. Dan siapa saja yang melakukan itu, maka ia telah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

Sesungguhnya Allah S.W.T dengan rahmat-Nya, telah menyatukan hati kaum mukminin di atas keta’atan kepada-Nya. dengan menjadikan cinta semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan tali-Nya yang kuat. 
Allah S.W.T berfirman yang artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imran: 103)

Ketika seseorang telah menjadikan materi yang fana sebagai dasar rasa cinta dan bencinya, maka sesungguhnya ia hanya akan menjadi penghalang dan membuat manusia berselisih, berpecah belah dan tidak bisa mempersatukan. Sesungguhnya permusuhan yang timbul di antara orang-orang yang tadinya berkawan akrab adalah bersumber dari kecintaan mereka atas dasar kepentingan dunia, yang mereka berkumpul di atas kesesatan dan saling mendorong kepada kemaksiatan. 
Dan pada hari dimana setiap diri akan mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya di dunia, sebagian dari mereka akan mencela sebagian yang lain dan melemparkan kesesatan juga akibat buruk atas sebagian yang lain. Pada hari itu mereka akan berubah menjadi musuh, padahal sebelumnya mereka adalah teman akrab yang saling membantu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67).

Hilanglah semua kawan karib dan teman akrab dahulu. Dan ketika orang-orang yang berkawan karib itu sibuk dalam persengketaan dan penyesalan, orang-orang yang berkasih sayang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam rasa aman, thuma’ninah dan sakinah, saling berhubungan karena Allah dan saling menasihati karena Allah, juga mereka mendapatkan naungan dari Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
“Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati.” (QS. Az-Zukhruf: 68).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1)Seorang Imam yang adil, (2)Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Rabb-nya, (3)Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, (4)Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dam berpisah juga karena Allah, (5)Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang terpandang dan cantik untuk berzina lantas ia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.” (6) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, (7)Seorang yang berdzikir kepada Allah dengan menyepi seorang diri hingga bercucuran air matanya.”

Mencintai dan membenci karena Allah ‘Azza wa Jalla memiliki beberapa keutamaan yang akan menjadi keuntungan tersendiri untuk hamba-hamba yang menjadikan keridhaan Allah sebagai satu-satunya tujuan, yaitu :

1. Cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Seorang laki-laki mengunjungi saudaranya (seiman) di kota lain. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim satu Malaikat untuk mengikuti perjalanannya. Tatkala bertemu dengannya, Malaikat itu bertanya: ‘Kemanakah engkau hendak pergi?’ Ia menjawab: ‘Aku hendak mengunjungi saudaraku di kota lain.’ Malaikat itu bertanya lagi: ‘Adakah suatu keuntungan yang engkau harapkan darinya?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ Maka Malaikat itu berkata: 'Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah.'

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, artinya:
“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai seorang hamba niscaya Jibril akan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Lalu Jibril menyerukan kepada penghuni langit: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai fulan, maka cintailah ia.’ Maka penghuni langit pun mencintainya, kemudian diberikan kepadanya penerimaan yang baik di kalangan penduduk bumi.”
2. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah S.W.T berada di bawah naungan ‘Arsy ar-Rahmaan pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya nanti pada hari Kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.”

3. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya pada hari Kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah riwayat dari Rabb-nya,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat cemburu para Nabi dan syuhada.”

4. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak akan bersedih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan: ‘Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka.’ Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.’ Kemudian beliau membacakan ayat:
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)”

5. Cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkan seseorang meraih kelezatan iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Barang siapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.”

6. Cinta dan benci karena Allah merupakan bukti kesempurnaan iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah, sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.”

7. Cinta karena Allah merupakan jalan menuju Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian.”


Wallahu a'lam bi shawab..